Selasa, 21 Agustus 2012

Mereka, Sinarku..


Di desa ini aku memulai hidupku yang terbilang sederhana. Tapi, aku tidak pernah ingin mengeluh atas semua ini, karena aku masih bisa hidup dengan sehat. Di rumah yang tidak luas dan tidak terlalu sempit ini aku tinggal bersama ibu dan Kak Dimas, ayahku tidak tahu pergi kemana, sejak kecil aku tidak pernah melihat sosoknya, dan Kak Dimas bilang ayah pergi sejak aku masih bayi. Aku sangat dekat dengan kak Dimas, hampir tiap waktu aku habiskan bersama kak Dimas. Kami sering bersama-sama membantu ibu di ladang, walaupun tak jarang kami bertengkar karena hal yang sepele.
***
Suatu malam di ruang tamu. Kakakku menyuruhku duduk disampingnya. “Rin, kalau nanti kamu sudah masuk SMP, kamu harus pilih teman yang baik ya.. Jangan sampai kamu terbawa oleh kelakuan anak-anak yang tidak baik. Dan kamu harus menjaga ibu dengan
sebaik mungkin. Kamu sayang kan sama ibu?” Ucap kakakku. Aku hanya mengangguk dan tersenyum. “Kamu harus bisa membuat ibu selalu tersenyum.. Sebenarnya kakak juga tidak mau meninggalkan kalian.. Tapi, kalau kakak terus disini tanpa bekerja, bagaimana dengan makan kalian dan sekolah kamu..? Kakak mau kamu bisa mencapai perguruan tinggi karena kakak juga tahu kalau kamu mempunyai prestasi.” Lanjutnya. Aku terdiam beberapa saat. “Tapi Kak, aku nggak papa kok kalau hanya sekolah sampai SD, aku nggak mau nambah berat beban kakak. Aku sayang kakak..” Jawabku sambil memeluk kakakku dengan erat. “Kakak juga sayang kamu Rin..”
Keesokan harinya, kak Dimas yang sudah siap dengan tas besarnya segera menghampiri ibu. “Ibu… Dimas minta do’anya ya.. agar diberi kemudahan dalam mencari pekerjaan disana.. Maafin Dimas karena mau ninggalin ibu.. Sebenarnya Dimas mau tetep disini, tapi Dimas mau Rina dapat sekolah sampai ke tingkat yang lebih tinggi.. Maafin Dimas ya bu..” Ucap kak Dimas sambil berlutut dan menangis. “Kemanapun kamu pergi, ibu pasti selalu mendo’akan kamu agar kamu selalu mendapatkan keselamatan dari sang Maha Pencipta. Ibu tahu ini berat, sejak kecil kamu tinggal disini bersama ibu dan Rina.. Tapi ini memang sudah waktunya untukmu mencari pengalaman baru di kota yang jauh disana.. Kamu tidak perlu minta maaf Dimas..!” Jawab ibu dengan tenang. Entah apa yang kemudian dibicarakan mereka, aku tidak mau dengar lagi. Aku lebih memilih mengurung diri dikamar. Sampai akhirnya kudengar suara ketukan pintu berseling dengan suara kak Dimas yang memanggil namaku, aku tetap tidak mau keluar. Aku benar-benar sedih kalau harus melihat wajah kak Dimas lagi. “Rina sayang.. Maafin kakak ya.. kakak harus ninggalin kamu sama ibu. Kakak janji kakak pasti pulang.. Kakak mohon Rin, keluar sebentar aja.. Kakak mau peluk kamu..” Ucap kakakku di balik pintu. Aku masih saja terdiam. “Ayolah Riiiinn.. ! Kakak  mohon sama kamu… Sebentar saja..!”
Aku masih menangis, dan kali ini ku beranikan diri untuk membuka kunci pintu. Aku membuka pintu, dan kak dimas langsung merangkulku. “Kakak pasti ulang kok Rin.. Kamu tenang aja. Jaga diri baik-baik ya, jangan telat makan.. oiyah.. jaga ibu juga..” Aku mengangguk. Kak Dimas melepaskan rangkulannya dan mengajak aku ke ruang tamu. Aku memeluk ibu sambil menangis. “Dimas pamit ya bu, Rin..” Kak Dimas menyalami tangan ibu dan aku. “Hati-hati ya.. Ibu akan selalu do’akan kamu.. Jaga diri baik-baik..!” “Iya bu.. Assalamu’alaikum…”
***
Sudah hampir dua tahun Kak Dimas pergi untuk bekerja. “Huuuhh.. Rina kangen sama kakak..” Ku berkata perlahan. Di jembatan ini aku duduk sendiri. Entah apa yang ku tunggu. Aku tak tahu. “Riiiiiiin….. Riinaaaa…. Ibumu…… huhh huh huhh..” Ku berbalik dan melihat Zaki temanku berlari menghampiri aku. “Ibuu kenapa..?” Dengan nafas tak beraturan dia menjawab. “Ibu kamu barusan aku lihat pingsan di lading, lalu orang-orang datang dan membawanya ke rumah Bu Minah.” Aku benar-benar terkejut. Sebelumnya Ibu selalu sehat. Kenapa sekarang. Hatiku tak beraturan. Aku juga heran kenapa aku tidak mau ikut ke ladang tadi. Huuuu aku menyesal. Aku terus menggerutu sampai tiba di rumah Bu Minah. Entah secepat apa aku berlari, sampai Zaki tak mampu mengejarku. “Ibu mana….?” Teriakku tanpa sadar.
Aku segera memeluk ibu yang terbaring di sofa Bu Minah. “Ibuu.. ibu kenapa..?” Aku menangis. “Mungkin ibu kamu Cuma kecapean Rin, dia pasti baik-baik saja.” Ucap entah siapa, aku tak melihatnya. Yang aku mau sekarang adalah melihat ibu membuka matanya dan tersenyum padaku. 
Satu jam, dua jam, tiga jam, ibu tak juga sadar. “Zaki, kamu mau tolong aku kan..?” Zaki memandangku dengan penasaran. “Tolong apa?” “Tolong antarkan aku dan ibu ke rumah sakit. Aku takut ibu kenapa-napa.” Zaki sejenak berpikir. “Baiklah” 
Dengan meminjam mobil pak RT, kami pun pergi. Aku mengajak Zaki karena tahu dia bisa menyetir mobil. Entah sejak kapan dia bisa, tapi aku sering melihatnya menyetir waktu kelas satu SMP. Dia suka membawa hasil panen warga sini menggunakan mobil dolak milik ayahnya. Aku belum mengenalnya saat itu, walaupun kami satu kelas.
Setelah beberapa jam kami di perjalanan, kami pun sampai di rumah sakit. Zaki segera meminta satpam rumah sakit itu untuk membawa ibu ke UGD. Aku sudah berhenti menangis. Tapi aku belum tenang memikirkan ibu. “Ya Allah.. semoga ibu baik-baik saja..”
***
Sudah seminggu ibu terbaring di rumah sakit ini, dan ibu belum tersadar juga. Aku bolos sekolah untuk bekerja, menggantikan ibu di ladang. Aku bingung dengan biaya administrasi yang harus aku bayar. Aku ingin memberitahu Kak Dimas, tapi aku tak tahu Kak Dimas dimana. 
Zaki, dia selalu ada, menemaniku juga selalu mengerti keadaanku. Walau tak setiap hari dia menjenguk ibu, tapi dia selalu menyempatkan diri menemuiku. Mungkin karena ingin menghiburku, atau mungkin karena iba akan diriku yang selalu menyendiri di pojok bangsal ini.
“Rin..” Aku menengok dan tidak percaya akan apa yang kulihat. “Kak Dimas..” Aku melihat Kak Dimas di belakang Zaki. Ya itu benar-benar kak Dimas. “Ibu mana Rin..?” Aku menunjuk ke arah ranjang besi itu. Kak Dimas menghampiri ibu yang masih koma. Dia hanya diam, tapi aku tahu hatinya menangis. “Bagaimana awalnya..?” Aku hanya menggeleng. “Saya juga tidak tahu, waktu itu tiba-tiba saja ibunya Rina pingsan di ladang, dan dibawa orang-orang ke rumah Bu Minah. Dan sampai sekarang belum sadar lagi.” Jawab Zaki. Aku menyetujui ucapannya. Memang, aku juga mendapat kabar ini pertama kali dari Zaki.
***
Satu bulan lebih ibu dirawat, dan aku masih sabar menunggu ibu bangun dari koma-nya. 
Hari ini aku masih di rumah. Membersihkan debu yang mulai menyerang rumah kami. Aku berniat setelah shalat dzuhur aku akan ke rumah sakit. Sambil membawa makanan untuk kakak. Tapi belum sampai jam 10 pagi, Zaki datang ke rumahku. Belum sempat aku bertanya, kulihat Kak Dimas di belakangnya bersama tetangga yang lain menggotong tubuh ibu kedalam rumah. Semuanya menangis. Aku bingung. Zaki menghampiriku “Kamu harus sabar ya, Rin” Aku tak mengerti apa maksdunya, dan aku tidak menanyakannya. Kak Dimas memelukku. “Ibu sudah pergi, Rin” Aku terdiam.
Jadi ini maksud Zaki. Menyuruh aku bersabar untuk semua ini. Apa dia tidak mengerti. Ini benar-benar berat untukku. 
Aku tidak bisa membendung airmataku lagi. Aku menangisi ibu, kepergian ibu. Aku berharap ini semua hanya mimpi. Tapi, ini memang bukan mimpi.
***
Setelah ibu dimakamkan, aku segera pulang dari pemakaman, aku tak kuasa menahan tangis kesedihan ini. Aku mengabaikan semua ucapan Zaki yang menyuruhku bersabar. Aku masih menangis. Sampai Kak Dimas pulang dari pemakaman. Aku belum bisa menerima semua ini. Semua orang datang ke rumah, dan mengatakan “Turut berduka cita” “Turut berbela sungkawa” apa-apaan. 
Seminggu berlalu aku masih sering menyendiri. Kak Dimas, Zaki, dan orang-orang seperti iba melihatku. Tapi aku mengabaikannya.
***
Kurang lebih empat bulan ku lalui hari tanpa ibu. Walaupun kini Kak Dimas ada di rumah karena berhenti bekerja untuk menemaniku, tapi tetap saja aku kesepian. 
Mereka, Kak Dimas dan Zaki, selalu berusaha menghiburku, agar aku tidak sedih, tidak menangis, dan kembali ceria seperti dulu. Sulit memang. Tapi aku selalu berusaha untuk menghargai mereka, dengan tersenyum, walau pahit.
Tapi sekarang aku sadar dan mengerti. Ini memang sudah menjadi rencana Allah untukku, agar aku lebih bisa menerima keadaan, dan lebih bersabar untuk semua hal yang menimpaku.
“Terimakasih Ya Allah, telah memberikan kepadaku orang-orang yang menyayangiku, yang selalu menghiburku, dan membuatku berhenti menangis. Semoga ibu berada di tempat yang layak, di sisi-Mu dengan keridhoan-Mu. Aamiin”
***
“Kak Dimas, Zaki, maafin Rina ya… Selama ini Rina selalu mengabaikan kalian, padahal kalian berniat baik pada Rina.” Mereka tersenyum. “Aku senang kau kembali menjadi Rina yang dulu..” Ucap Zaki dengan senyum lebarnya. “Nggak usah minta maaf, kami juga ngerti kok.” Lanjutnya. Kak Dimas tersenyum menatapku. “Iya, kakak juga ngerti perasaanmu, karena kakak juga ngerasain. Udah jangan nangis lagi sekarang mah. Malu udah gede.” “Yeeee… dasarrr…!!”
Aku tak akan menyia-nyiakan kalian. Kalian adalah cahaya harapanku, yang membawaku pergi dari kegelapan. Terimakasih Kak Dimas, Zaki.. Aku sayang kalian.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar